• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Mengapa Hoax Masih Merajalela Di Masa Pandemi  Ini?

Wildan, S.E., M.I.Kom

16 Juli 2021

1365 kali dibaca

Mengapa Hoax Masih Merajalela Di Masa Pandemi Ini?

Hampir 2 tahun negara kita masih berkuta dalam persoalan pandemi Covid-19 ini. Tanda-tanda akan berakhir masih jauh panggang dari api. Upaya pemerintah dalam menangani pandemi ini masih terus berlanjut. Mulai dari berbagai macam kebijakan karantina hingga vaksinasi untuk masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut masih mendapat tantangan dan hambatan. Salah satunya adalah penyebaran disiinformasi, misleading yang berujung kepada informasi/berita palsu atau hoax.

Hoax dan misleading semakin merajalela pada masa pandemi Covid-19. Bayangkan saja, sepanjang  tahun 2020 hingga pertengahan 2021 ini, kwantitas berita palsu ini yang beredar di masyarakat semakin meningkat tajam. . Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Donny Budi Utoyo, mencatat rata-rata ada 4-5 hoaks baru terkait COVID-19 yang beredar setiap hari sejak Februari 2021 sampai sekarang (cnbcindonesia.com). Konten hoax  terkait Covid-19 begitu mendominasi media sosial dan aplikasi pesan instant yang dimiliki masyarakat.

Motif menyebarkan hoax juga sangat beragam, mulai dari motivasi politis, promosi diri, bahkan promosi usaha. Akan tetapi, tidak semua yang menyebarkan hoax memiliki motif tersembunyi. Ada sebagian orang dengan maksud baik, secara tidak sadar ikut menyebarkan  informasi palsu dan mengira informasi itu akan membantu teman dan kerabat dalam memahami suatu peristiwa atau berita.

Penulis mengamati telah banyak penelitian yang membahas terkait hoax yang mudah dipercaya masyarakat. Daniel Kiehman seorang psikolog  Amerika peraih Nobel Ekonomi Tahun 2002 mengatakan sebagian dari otak manusia itu berpikir sangat lambat dan tidak logis, bagian otak ini dapat dimanipulasi. Akan tetapi ada bagian otak lain yang berpikir skeptis, kritis, tapi Daniel memiliki catatan di mana otak yang berpikir kritis ini cepat lelah, jadi jarang dipakai oleh bagian otak. Kemampuan berpikir kritis dan terhadap terpaan informasi yang datang padanya, termasuk hoax ini.

Jika tidak ada kehati-hatian, masyarakat pun dengan mudah termakan tipuan hoax tersebut bahkan ikut menyebarkan informasi palsu itu, tentunya akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah. Misalnya saja hoax terkait vaksinasi. Lebih kurang 150 konten yang menyesatkan terkait dengan vaksinasi ini. Tsunami informasi yang salah, terkait bahaya vaksinasi telah dikonsumsi masyarakat tanpa ada filterisasi. Masyarakat kita lebih fokus kepada 1 permasalahan pada vaksinasi tetapi mengabaikan ribuan dampak keberhasilan program vaksinasi ini. Akibatnya, masyarakat masih banyak yang enggan untuk melakukan vaksinasi ini.  Pemerintah perlu lebih intensif lagi mengkomunikasikan informasi yang benar dengan cara yang benar.

Penulis melihat dalam permasalahan penyebaran hoax ini tidak bisa diatasi satu pihak. Penulis memandang perlunya penanganan hoax secara komprehensif dari hulu ke hilir. Dalam konteks informasi ada istilah literasi digital, ini yang perlu didorong. Perlu aksi-aksi kolaboratif semua kalangan mulai dari pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan tokoh agama dan tentunya keluarga sebagai lingkungan terkecil di masyarakat. Masyarakat harus dibiasakan memiliki sikap kritis dalam menanggapi berita-berita yang beredar sehingga tidak ditelan mentah-mentah.

Mengedukasi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu konsistensi dan upaya yang berkelanjutan.Upaya sederhana dan efektif diantaranya, memberi tahu bahwa hoax berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Memberikan penjelasan yang menyebarkan hoax bisa dipidana. Dengan demikian, masyarakat harus sangat berhati-hati dalam menyebarkan informasi/berita yang belum tentu kebenarannya. Membaca berita dengan baik dan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang konteks berita yang dibaca. Membiasakan teliti dan mengenali berita hoax saat mendapat berita baru, karena konten berita hoax tidak hanya berbentuk teks tetapi bisa berupa gambar, foto maupun video. Ketika kita mulai mencurigai sebuah berita tersebut adalah bohong alias hoax, maka hentikan saja menyebarkannya, tidak perlu diteruskan lagi.

Penyebaran dan keterpaparan hoax ini sangat cepat dan mudah  karena disampaikan oleh lingkungan terdekat namun penyebaran klarifikasi dan kebenaran informasinya sangat sedikit. Inilah yang perlu dipahami mengapa mudah sekali masyarakat termakan isu hoax pada masa pandemi ini. Penulis berani mengatakan bahwa hoax ini hampir sama cara penyebarannya dengan Covid-19 ini. Namun dengan menerapkan protokol seperti pada paragraf di atas setidaknya kita bisa mengendalikan penyebarannya. Ayo kita mulai dari diri sendiri!

Berita Terbaru