• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Pendidikan: Antara Kuantitas, Esensi, dan Perlindungan Guru

Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos

26 November 2024

161 kali dibaca

Pendidikan: Antara Kuantitas, Esensi, dan Perlindungan Guru

Pendidikan. Sebuah kata yang mengandung harapan besar, namun di balik gemilangnya kata ini, tersembunyi realita pahit. Pada momentum Hari Guru Nasional, mari kita bertanya dengan hati terbuka, apakah pendidikan di negeri ini sudah benar-benar mendidik, atau sekadar memenuhi angka-angka kuantitatif? Dan lebih dari itu, apakah kita telah melindungi guru sebagai pengemban tanggung jawab mulia ini?

Hari Guru adalah waktu untuk merayakan dedikasi mereka yang telah membimbing kita. Namun, apakah cukup dengan seremonial dan pujian, sementara di luar sana, marak terjadi kriminalisasi terhadap guru? Mereka yang seharusnya dihormati justru kerap menjadi korban hukum, dijadikan sasaran empuk atas dasar kesalahpahaman atau bahkan eksploitasi undang-undang.

Esensi mendidik bukanlah pada berapa banyak yang diajarkan, melainkan bagaimana ilmu itu membentuk kepribadian dan cara berpikir. Pendidikan sejati harus mengajarkan anak-anak untuk bertanya, bukan hanya menjawab. Ia harus mengajarkan mereka untuk mencintai proses, bukan hanya hasil.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya memerdekakan manusia. Namun, jika sistem pendidikan kita justru membelenggu anak-anak dalam pola pikir yang seragam, maka di manakah letak kemerdekaan itu? Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, memegang kunci dalam membentuk generasi yang bebas berpikir, kritis, dan kreatif. Tetapi apa jadinya jika guru tidak diberi ruang untuk melaksanakan peran ini karena terbelenggu sistem yang kaku?

Tidak sedikit kasus di mana guru yang mendisiplinkan siswa dengan tujuan mendidik malah berakhir di ruang sidang. Undang-Undang Perlindungan Anak, yang seharusnya menjadi tameng bagi anak-anak dari kekerasan, sering kali dipelintir menjadi senjata untuk menyerang guru. Hukuman disiplin yang diberikan dengan niat baik disalahartikan sebagai tindakan melanggar hukum. Guru, yang sejatinya adalah pilar pendidikan, malah merasa terancam saat menjalankan tugas.

Kita tidak bisa menyangkal pentingnya melindungi anak dari kekerasan. Namun, perlindungan ini harus dipahami dalam konteks yang benar. Sebuah undang-undang tidak boleh menjadi alat untuk melucuti otoritas moral seorang guru. Guru yang mendisiplinkan murid dengan cara mendidik tidak bisa disamakan dengan pelaku kekerasan.

Kita harus bertanya, bagaimana pendidikan bisa mencapai esensinya jika gurunya justru dilucuti dari otoritas dan martabatnya? Pendidikan sejati bukan hanya soal memberikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter. Dan dalam proses itu, kadang diperlukan ketegasan. Namun, ketika setiap tindakan guru diawasi dengan kecurigaan, bagaimana mungkin mereka mendidik dengan sepenuh hati?

Kita membutuhkan revolusi dalam cara kita memandang pendidikan. Guru harus diberi ruang untuk lebih dari sekadar pengajar, mereka harus menjadi pembimbing dan inspirator. Siswa harus diajak menemukan potensi unik mereka, bukan sekadar diseragamkan. Dan sistem pendidikan harus meninggalkan obsesinya pada kuantitas, beralih ke kualitas yang menyentuh inti kemanusiaan. 

Esensi pendidikan adalah mendidik—bukan sekadar mencetak lulusan, tetapi membangun manusia yang siap menjalani kehidupan dengan hati, pikiran, dan jiwa yang utuh. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah pendidikan kita sudah baik, tetapi apakah kita siap mengubah arah menuju pendidikan yang benar-benar mendidik.

Undang-Undang Perlindungan Anak, untuk melindungi, bukan memojokkan. Kita tidak bisa menyangkal pentingnya melindungi anak dari kekerasan. Namun, perlindungan ini harus dipahami dalam konteks yang benar. Sebuah undang-undang tidak boleh menjadi alat untuk melucuti otoritas moral seorang guru. Guru yang mendisiplinkan murid dengan cara mendidik tidak bisa disamakan dengan pelaku kekerasan.

Jika kita terus membiarkan ketakutan menghantui para pendidik, maka yang terancam bukan hanya mereka, tetapi juga masa depan generasi yang mereka didik. Ketegasan dalam mendidik adalah bagian dari kasih sayang. Sayangnya, di era ini, ketegasan sering diartikan sebagai kekerasan, dan otoritas guru direndahkan di mata murid.

Pada Hari Guru Nasional ini, mari kita merenung lebih dalam. Apakah kita sudah cukup memberikan perlindungan kepada mereka yang setiap hari mencetak masa depan bangsa? Guru bukan hanya pelayan masyarakat, mereka adalah penjaga peradaban. Tetapi bagaimana mungkin mereka menjaga peradaban jika mereka sendiri tak dijaga?

Momentum ini harus menjadi titik balik. Guru hebat hanya bisa lahir dari sistem yang menghormati dan melindungi mereka. Undang-Undang Perlindungan Anak harus menjadi tameng bagi anak-anak tanpa mengorbankan martabat guru. Pemerintah, masyarakat, dan semua pihak harus berdiri bersama untuk menciptakan keseimbangan ini.

Esensi pendidikan bukan sekadar melahirkan generasi cerdas, tetapi generasi yang memiliki integritas dan karakter. Dan ini tidak akan tercapai jika guru terus merasa dibatasi dan dikriminalisasi. Pada Hari Guru ini, mari kita gaungkan pesan kuat. Lindungi guru, bebaskan mereka dari ancaman kriminalisasi, dan biarkan mereka mendidik dengan sepenuh hati.

Karena tanpa guru yang bebas dan berani, pendidikan hanyalah bayangan kosong. Guru hebat bukan hanya membutuhkan penghormatan, tetapi juga perlindungan. Mari bersama-sama menjadikan pendidikan sebagai cahaya yang mendidik, membangun manusia, dan menjaga martabat guru sebagai penjaganya.

Berita Terbaru