• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Perlu Diketahui, 4 Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Penyebaran Hoax Covid-19

Wildan, S.E., M.I.Kom

26 Agustus 2021

6510 kali dibaca

Perlu Diketahui, 4 Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Penyebaran Hoax Covid-19

Di era teknologi saat ini, Informasi palsu atau hoax bukan merupakan barang baru. Kominfo menyebut hoax berfungsi sebagai alat propaganda bagi para pelakunya. Bahkan tak sedikit publik figur yang terang-terangan menyebarkan hoax mengenai COVID-19 di media sosial pribadi mereka. Tentunya informasi yang tidak tepat bisa membahayakan baik bagi diri sendiri maupun komunitas. Penyebaran hoax menimbulkan keresahan publik. Untuk itu masyarakat perlu diingatkan agar memanfaatkan media sosial secara positif dan jangan mudah termakan isu tidak benar.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mencatat 1.723 sebaran hoaks menyangkut soal vaksin dan COVID-19 sepanjang Januari hingga Juni 2021 di berbagai platform media sosial, terbanyak ditemukan di Facebook dan aplikasi pesan instant seperti WhatssApp. Misinformasi yang  tidak benar ini , termasuk teori konspirasi terkait COVID-19, menyebar dengan cepat dan masif dikonsumsi publik. Ditambah lagi dengan fakta-fakta yang disampaikan oleh para mikroinfluencer seperti tokoh agama dan publik figur yang tidak percaya akan pandemi ini melalui informasi teori konspirasi dan fakta yang tidak jelas kebenarannya. Teori konspirasi global COVID-19, seringkali dikaitkan dengan sentimen anti-vaksin, anti Pemerintah Indonesia dan anti-China.

Misinformasi pandemi ini telah menjadi masalah global karena bisa mempengaruhi tindakan masyarakat untuk melawan Covid-19. Menurut pengalaman penulis, setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi penyebaran informasi hoax Covid-19 tersebut, yaitu  insting dasar manusia ingin mengetahui, teknologi komunikasi modern, bias konfirmasi dan ruang gema (echo chamber).

Pertama, insting dasar manusia yang ingin mengetahui. Keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu hal yang menarik perhatian mereka menjadi salah satu faktor penyebaran informasi bohong. Pada awal-awal pandemi ini terjadi, hampir semua masyarakat bahkan penulis sendiri mengalami keadaan ini. Naluri alami berupa rasa takut tersebut diiringi dengan menyalahkan orang lain dan menjaga identitas positif seseorang atau kelompok agar perasaan tersebut terasa nyaman. Perasaan takut yang diiringi dengan perasaan ingin tahu, memicu kemunculan teori-teori konspirasi. Misalnya teori konspirasi korelasi vaksinasi dengan jaringan komunikasi 5G sebagai penyebab Covid-19 bisa menyulitkan usaha perlawanan virus.

Kedua, teknologi komunikasi modern. Efek samping dari teknologi komunikasi modern yang membuat siapa pun dapat memproduksi dan menyebarkan konten. Publik dapat dengan mudah membuat dan mengemas informasi dan menyebarkannya lewat sosial media. Bahkan dalam hal-hal tertentu, orang awam juga kadang-kadang merasa menjadi ahli, padahal kapasitas mereka tidak memiliki kompetensi dalam menyampaikan informasi tersebut. Dan diperparah lagi dengan kemampuan literasi yang rendah sehingga hoax menjadi menyebar dengan sangat cepat.

Ketiga, bias informasi. Mudahnya publik dalam mengakses informasi lewat teknologi ini menjadikan banyak orang condong membaca dan menyebarkan informasi yang diterima tanpa meliterasi informasi dan berita yang disebarkan. Tsunami infoirmasi yang terjadi membuat orang kewalahan mengolah informasi yang datang kepadanya. Kondisi ini mengakibatkan bias konfirmasi, yakni sebuah fenomena dimana pembaca condong memilah informasi sesuai dengan keyakinannya. Misal, informasi tentang manfaat daun sungkai untuk terapi penyembuhan bagi penderita Covid-19. Walaupun belum teruji secara klinis daun herbal ini bisa menyembuhkan penyakit ini, namun berdasarkan pengalaman dan informasi melalui aplikasi pesan instan seperti WhattsApp, maka orang itu akan lebih percaya pada informasi yang menguatkan keyakinan tersebut.

Keempat, ruang gema. Maraknya penyebaran informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya melalui grup-grup pesan instant seperti WhatsApp ini bisa menjadi ruang gema (echo chamber). Di dalam ruang gema ini, satu opini yang kurang kredibel atau fakta yang kurang akurat bisa dianggap benar karena didukung oleh informasi palsu dan disampaikan secara berulang-ulang, sehingga menyulitkan mendapatkan atau menerima perspektif lain. Biasanya kecepatan penyebaran informasi yang salah itu sangat cepat, namun ketika disampaikan informasi kebenaran dengan fakta  yang ada, kecepatan penyebarannya sangat lambat bagaikan jalan siput.

Dampak hoax itu nyata, jika kita melihat parameter tingkat vaksinasi pada masyarakat Indonesia, Provinsi Sumatera Barat termasuk wilayah yang paling rendah  tingkat vaksinasinya maupun kesadaran dalam penerapan protokol kesehatan. Paparan hoax menjadi salah satu penyebab kondisi tersebut. Pandemi ini belum diketahui pasti kapan selesainya, secara psikologis ini akan menjadi permasalahan, untuk waktu yang lama akan mengganggu situasi emosional dan suasana hati yang berkepanjangan, sampai “menghantui” pikiran.

Sebagai salah satu penggiat pencegahan penyebaran hoax  di media sosial, penulis memandang perlunya media sosial tersebut bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang sifatnya sinergis dan edukatif. Sudah saatnya kita bersatu melakukan gerakan moral untuk menyadarkan masyarakat tentang bagaimana Medsos digunakan secara positif. Edukasi dan mengajak masyarakat untuk memahami bahaya penyebaran hoax dari sisi hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan. Dukungan pemerintah tidak hanya sekedar imbauan saja, namun sebaiknya ke hal yang progresif dengan turun langsung memberikan edukasi. Edukasi secara bertahap dan berjenjang serta kontinu bisa menjadi langkah efektif. Psikologis masyarakat yang terkena paparan hoax ini perlu diperbaiki dengan cara seperti ini.

Berita Terbaru