• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Bumi Manusia: Sebuah Cermin Peradaban dalam Apel Perdana

Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos

25 Februari 2025

211 kali dibaca

Bumi Manusia: Sebuah Cermin Peradaban dalam Apel Perdana

Di tengah udara pagi yang masih segar, Wakil Bupati Risnaldi Ibrahim berdiri tegak di hadapan para peserta apel perdana. Namun, yang ia sampaikan bukan sekadar pidato biasa. Ia membawa hadirin menelusuri lembar kisah Bumi Manusia, roman legendaris karya Pramoedya Ananta Toer. Sebuah cerita yang bukan sekadar fiksi, tetapi cermin peradaban.

Bumi Manusia/This Earth of Mankin adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Risnaldi mengatakan, Minke bukanlah seorang pahlawan besar seperti Soekarno, namun ia menulis sendiri peran dan perjuangannya dalam catatan sejarah dengan caranya sendiri.

"Minke dalam buku tersebut bukanlah siapa-siapa dalam perjuangan kemerdekaan. Ia hanya masyarakat biasa, tetapi ia tidak mau melepaskan dirinya dari catatan sejarah kemerdekaan. Ia mencatat perjalanannya sendiri," ujar Risnaldi di hadapan para peserta apel.

Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.

Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. 

Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Annelies, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Mellema.

Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.

Bumi Manusia bukan hanya tentang Minke, seorang pribumi yang menembus batas-batas keistimewaan kolonial. Bukan pula hanya tentang Nyai Ontosoroh, perempuan yang menolak tunduk pada nasib. Ini adalah kisah tentang bagaimana ilmu pengetahuan menjadi senjata, tentang bagaimana keberanian melawan ketidakadilan lahir dari kesadaran yang terus diasah.

Minke, sang pemuda terpelajar, tidak hanya bertempur dengan pena dan kata-kata, tetapi juga dengan keberanian untuk mempertanyakan—mengapa pribumi harus terus berada di bawah? Mengapa pendidikan hanya menjadi hak segelintir orang? Bukankah manusia harusnya setara?

Lalu ada Nyai Ontosoroh, perempuan yang ditindas oleh status sosial, tetapi menolak menjadi korban. Dalam sunyi, ia belajar. Dalam keterbatasan, ia bertahan. Hingga akhirnya, ia lebih dari sekadar Nyai—ia adalah simbol perlawanan intelektual yang tak bisa diremehkan.

Di bawah langit yang sama, di tanah yang sama, tidakkah kita melihat bahwa perjuangan itu belum usai? Pendidikan masih menjadi kemewahan bagi sebagian, ketidakadilan masih bertahta dalam sistem. Apakah kita akan diam? Atau, seperti Minke, kita akan menulis, bersuara, dan melawan dengan pikiran?

Menurutnya, setiap individu, tanpa memandang jabatan, memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan Pesisir Selatan.

"Apapun jabatan kita, ASN maupun non-ASN, jadikanlah diri kita bagian dari sejarah pembangunan daerah ini. Mari catat kontribusi kita untuk kemajuan Pesisir Selatan di bawah kepemimpinan Bapak Hendrajoni dan saya sendiri," tegasnya.

Risnaldi juga menekankan, keberhasilan pembangunan tidak ditentukan oleh latar belakang seseorang, tetapi oleh kerja keras dan komitmen yang diberikan.

"Tidak peduli dari mana kita berasal, yang terpenting adalah bagaimana kita bekerja keras dan berkontribusi untuk kemajuan Pesisir Selatan," tambahnya.

Sebagai penutup, Wakil Bupati mengajak seluruh elemen masyarakat dan jajaran pemerintahan untuk bersinergi dalam mewujudkan visi dan misi Pesisir Selatan yang Maju, Tumbuh, dan Berkelanjutan. 

Dalam dunia yang terus bergerak maju, pesan Bumi Manusia tetap relevan. Bahwa belajar adalah bentuk perlawanan. Bahwa mempertanyakan adalah langkah awal menuju perubahan. Bahwa sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi untuk dipelajari agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama.

Apel pagi itu berakhir. Barisan kembali ke rutinitas. Tapi pertanyaan yang ditinggalkan Wakil Bupati tak akan luruh begitu saja. Di mana kita berdiri dalam sejarah yang terus menulis dirinya sendiri.

 

Berita Terbaru