Pernahkah kita membayangkan, bahwa di balik beningnya air laut dan desau angin yang memeluk pantai, tersembunyi ancaman tak kasat mata yang perlahan menyusup ke dalam hidup kita? Mikroplastik—ia begitu kecil, nyaris tak terlihat, namun perlahan menggerogoti yang kita cintai, laut yang memberi nafkah, udara yang kita hirup, makanan yang kita santap.
Mikroplastik adalah potongan plastik berukuran sangat kecil, kurang dari lima milimeter. Ia bisa berasal dari limbah plastik yang terurai secara alami, atau memang diproduksi dalam ukuran kecil, seperti butiran scrub pada produk kecantikan. Meski ukurannya nyaris tak terlihat, mikroplastik telah menjadi sorotan global karena bahayanya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Mikroplastik mungkin kecil, namun dampaknya terhadap lingkungan tidak bisa dianggap remeh. Melansir dari Nationl Ocean Service di jelaskan Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), mikroplastik pertama kali dikenali sekitar lima dekade lalu, ketika industri mulai menggunakan partikel plastik dalam produk perawatan pribadi, menggantikan bahan-bahan alami yang sebelumnya digunakan.
Produk-produk dengan kandungan mikroplastik membanjiri pasaran, namun kesadaran masyarakat terhadap bahayanya masih sangat minim. Kini, kita tahu plastik ada di mana-mana—dan banyak yang berakhir di lautan.
Di laut, sebagian besar plastik tidak menghilang, melainkan terurai menjadi partikel sangat kecil. Potongan-potongan ini dikenal sebagai mikroplastik, dan jumlahnya terus bertambah. Bahkan, ada juga jenis plastik yang sejak awal memang dirancang dalam ukuran mikro, memperparah pencemaran laut.
Ancaman mikroplastik bukan hanya pada ekosistem laut, tapi juga terhadap rantai makanan yang pada akhirnya sampai ke manusia. Meski tantangannya besar, setiap individu bisa berperan.
Di kehidupan sehari-hari, mikroplastik tersembunyi dalam pakaian sintetis, air minum kemasan, sabun, hingga deterjen.
Ketika plastik dibuang sembarangan, sebagian berakhir di sungai dan terbawa arus hingga ke laut. Di sana, plastik terurai oleh sinar matahari dan ombak, membentuk partikel mikroskopis yang mengancam biota laut. Mikroplastik bahkan bisa masuk ke rantai makanan ketika plankton, kerang, atau ikan tanpa sadar mengonsumsinya—dan akhirnya sampai ke tubuh manusia.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Environmental Science & Technology mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia. Masyarakat Indonesia diperkirakan menelan sekitar 15 gram mikroplastik setiap bulan, setara dengan satu kartu ATM. Temuan ini sejalan dengan laporan WHO yang menyebutkan bahwa mikroplastik kini ditemukan dalam makanan laut, air minum, bahkan udara yang kita hirup. Jika terus dibiarkan, tentu saja akan berdapak buruk pada kesehatan.
Sebagai wilayah yang sangat bergantung pada hasil laut, masyarakat Pesisir Selatan berada di garis depan ancaman ini. Mikroplastik yang mencemari laut tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga mengancam ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan ekonomi nelayan.
Di satu sisi, kita hidup berdampingan dengan alam, namun di sisi lain, kita juga tanpa sadar menjadi bagian dari kerusakannya. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang terjadi pada bumi?”, tetapi “apa yang telah kita lakukan dan apa yang bisa kita perbaiki bersama?” Masalah mikroplastik memang kompleks, namun solusi dimulai dari langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan siapa saja.
Langkah sederhana seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menggunakan kembali barang plastik, tidak membuang plastik sembarangan ke sungai atau laut, serta mendaur ulang dengan benar bisa memberikan dampak besar untuk masa depan laut kita. Ingatlah prinsip dasar: Kurangi. Gunakan kembali. Daur ulang.
Mikroplastik mungkin tak terlihat, tapi dampaknya nyata. Kini saatnya kita bertindak. Dengan kesadaran dan kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan, kita bisa menjaga Pesisir Selatan tetap bersih, sehat, dan lestaribukan hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi yang akan datang. Mari mulai dari diri sendiri, demi laut yang tetap biru dan bumi yang tetap hijau.